Menulis, Ajang Balas Dendam


            Sebut ini balas dendam.
            Ya, setelah beberapa lama saya tidak sempat mengisi blog akibat modem yang tiba-tiba tidak berfungsi setelah dibawa ke kampus. Menyebalkan. Padahal, saya sangat ingin memublikasi beberapa tulisan. Akhirnya, saya memutuskan mengendapkan banyak tulisan dalam flashdisk. Namun, bukan endapan-endapan tulisan itu yang saya masukkan ke dalam blog. Saya lebih suka menulis tulisan baru dan memasukkannya ke dalam blog. Jadilah, malam ini, saya telah memublikasi tiga buah tulisan sebagai ajang balas dendam.
            Saya ingin sedikit berbagi cerita. Ya, saya suka menulis fiksi. Sejak kecil, saya selalu berharap suatu saat nanti orang akan mengenal saya melalui tulisan. Tapi perjalanan untuk dikenal melalui tulisan berlangsung panjang dan mengharu biru, hahahahha. Pertama, karena saya tidak punya kemampuan menulis. Saya butuh waktu bertahun-tahun sebelum merasa mantap dengan tulisan sendiri. Kedua, saya tidak tahu bagaimana orang dapat mengenal saya melalui karya yang saya buat. Dulu saya tak pernah mengikuti lomba atau menunjukkan tulisan. Hanya beberapa orang dekat yang tahu dan sering membaca coretan-coretan saya.
            Belakangan, saya mulai mengenal blog dan jatuh cinta pada blog. Blog adalah ajang berkreasi dan membagikan karya secara cuma-cuma untuk dikonsumsi publik secara gratis. Bukan berarti saya tidak tertarik menerbitkan karya. Tapi, itu belum menjadi fokus utama. Lagi pula, beberapa naskah saya masih terserak karena belum mampu saya selesaikan. Ternyata, lebih nyaman membuat cerpen atau prosa. Menciptakan sebuah novel melelahkan dan menguras hati. Saya kesulitan setengah mati. Saya putuskan, nanti saja dulu menulis novel. Saya sudah cukup senang orang dapat membaca tulisan saya sesuka hati semau mereka. Baik di blog ini, di blog lama, maupun yang saya tulis sendiri dengan tangan.
            Jangan dikira, dengan adanya blog, saya meninggalkan cara tradisional. Saya tetap nyaman menulis di kertas dengan sebuah pulpen. Kadang, saya bisa menghabiskan waktu sepanjang hari menuliskan banyak hal di kertas. Bisa berupa opini atau fiksi. Begitu pula agar saya tidak kehabisan gairah menulis. Saya rajin membuat writing prompt. Kalaupun tidak di kertas, saya menyimpannya dalam kotak konsep di ponsel. Sehingga seringkali dalam ponsel saya terdapat potongan kalimat yang menunggu saya sambung menjadi satu.
            Saya sangat senang, salah satu cerpen saya masuk dalam buku kumpulan cerpen. Meski belum naik cetak, saya sungguh tidak sabar. Ingin segera menimang, mengelus, dan membaca buku yang di dalamnya juga terdapat tulisan saya. Bangga. Walaupun ini bukan buku pertama karena sebelumnya saya pernah ikut proyek kolaborasi yang sayangnya tidak saya beli. Kali ini terasa berbeda. Saya benar-benar berniat membeli. Mulai hari ini, saya harus menyisihkan uang ^_^
            Sabtu kemarin, saya mengikuti sebuah lomba menulis cerpen di kampus. Pesertanya cukup banyak yang membuat saya gembira. Saya suka antusiasme orang-orang yang menulis. Pemandangan itu terasa hilang nikmatnya seketika waktu saya menyadari, tulisan saya hari itu jelek. Kacau. Buruk. Gagal. Bahkan ketika saya mengirimkan tulisan itu kepada seorang teman yang biasa saya ajak diskusi, dia sampai terheran-heran. Bagaimana mungkin saya menghasilkan tulisan yang sangat tidak berkualitas macam itu? Saya juga heran. Kesehatan yang kurang mendukung tidak menjadi alasan. Tetap saja, itu kesalahan saya. Berarti, konsentrasi saya terpecah. Saya kasihan pada dewan juri yang harus membaca karya yang memalukan itu.
            Menulis. Ah ya, menulis. Rencana jangka pendek saya adalah lebih banyak menghasilkan resensi. Dulu, awal mula saya bangkit dan mulai menulis lagi adalah resensi. Suatu ketika, saya nekat ikut lomba resensi. Dari situ, saya belajar membuat resensi. Hingga akhirnya, saya jatuh hati pada resensi. Saya sering melahap resensi film, buku, dan musik di media cetak maupun elektronik. Saya terpacu menciptakan resensi saya sendiri. Tentu, dengan gaya khas saya. Oiya, ada yang pernah berpendapat saya sukses membuat pembaca terkesima dengan resensi saya sejak paragraf pertama. Itulah tantangannya. Bagaimana saya membuat pembaca terpaku sejak paragraf pertama kemudian berlanjut ke paragraf selanjutnya lalu memutuskan membuktikan sendiri dengan membeli buku atau film itu. Saya membatas diri pada film dan buku sebab saya tidak memiliki pengalaman atau pengetahuan tentang musik.
            Empat menit lagi, jam yang tertera di layar ponsel menunjukkan pukul dua dini hari dan saya masih mengetikkan entri baru untuk blog ini. Saya memang belum memiliki penggemar dalam jumlah besar yang setia menunggu dan membaca karya-karya saya. Namun saya menyukai ini, ya, kegiatan menulis ini. Entah orang lain membacanya atau tidak, saya tetap menuliskannya. Saya tidak mau muluk-muluk berkata manfaat menulis atau arti menulis bagi saya. Mungkin lain waktu. Secara sederhana saya akan mengatakan, menulis itu menyenangkan. Selamat pagi semua! 
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama