Dua Nenek


http://www.shutterstock.com/pic-23811838/
            "Bu, olahraga?" sapa Bu Sarni. Bu Menur tersenyum cerah melihat teman sebayanya muncul. "Iya, buat melatih tulang-tulang yang sudah keropos biar tidak semakin keropos," sahut Bu Menur sambil terkekeh. "Ibu sendiri, tumben betul keluar jam segini. Biasanya jarang keluar." Giliran Bu Sarni yang terkekeh, "Cucu saya, Fahri, masih tidur. Biasanya saya tidak bisa keluar rumah kalau Fahri sudah bangun. Kasihan, ditinggal orangtunya berangkat kerja sejak subuh. Jadi, tanggung jawab mengurus Fahri sehari-hari dibebankan pada saya. Untung Fahri anaknya tenang. Dia tidak mudah rewel. Dikasi susu kaleng juga lahap. Sebetulnya saya lebih suka ibunya tinggal di rumah, tapi mau bagaimana lagi."

            "Lho, memangnya kenapa ibunya kerja?" selidik Bu Sarni. "Cicilan rumah ini belum lunas, harga-harga semakin naik. Menantu saya banting tulang sampai hampir tiap hari sengaja lembur supaya dapat tambahan untuk dibawa pulang. Harga susunya Fahri kan juga tidak murah, bu. Namanya saja anak kecil, harus dipenuhi gizinya. Ya makan, vitamin, macam-macam. Kalau popok kain repot mencucinya, sejak sebulan ini Fahri dipakaikan popok sekali pakai. Apalagi menantu saya tidak suka pakai jasa pembantu, semua pekerjaan rumah saya dan ibunya Fahri yang urus. Saya tidak tega lihat anak sibuk sendiri." Bu Menur menghela nafas berat. Matanya menekuri jalan.
            "Saya juga lho, bu. Menantu saya sibuk kerja padahal anaknya masih kecil-kecil. Dia tidak menyusui si bungsu dan tidak sempat memperhatikan si sulung. Dulu waktu si sulung masih kelas 1 SD, saya yang antar ke sekolah. Sekarang si sulung sudah kelas 4 SD, bisa berangkat sendiri. Tapi dia kurang dekat dengan ibunya. Dia lebih dekat dengan saya," wajah Bu Sarni menunjukkan keprihatinan. "Susah ya bu, kalau ibunya anak-anak terpaksa ikut kerja membantu suami. Tapi kenapa menantu ibu kerja? Bukannya rumah ibu dibangun, tidak beli jadi? Kalau anak saya kan ikut kerja seperti suaminya karena cicilan rumah tinggi," tanya Bu Menur heran.
            "Keperluan anak-anak tinggi bu. Biarpun katanya SPP gratis, masih banyak tarikan yang dipungut. Acara jalan-jalan saja katanya wajib, biar semua ikut dan kompak. Padahal uang buat darma wisata bisa dipakai untuk hal lain. Si sulung sakit-sakitan, susah makan, sering dibawa ke dokter. Orangtuanya banyak membelikan vitamin ini itu. Masakan di rumah harus bervariasi biar nafsu makannya naik. Ditambah susu dan buah-buahan. Repot saya kalau diminta ibunya atur menu. Si bungsu, dia anaknya aktif. Sebelumnya nakal, orangtuanya sering dipanggil karena dia berantem di sekolah. Akhirnya anak saya punya inisiatif memasukkan dia ke klab bela diri dan sekolah sepak bola. Kenakalannya jauh berkurang, tapi ya itu, bianyanya malah membengkak."
            "Tapi saya salut lho bu, si bungsu banyak kegiatan, tidak cuma main sama teman atau malas-malasan di rumah. Dengan masuk klab dia bisa mengasah bakat. Cucu saya yang bayi juga rajin dibawa orangtuanya ke sekolah bayi. Zaman sekarang, bayi saja punya kegiatannya sendiri dengan teman-temannya. Dilatih berenang lah, olahraga lah, macam-macam. Tapi biayanya juga macam-macam, hehehe," Bu Menur menyahut. Bu Sarni mengamini.
            "Kita ini nenek hebat ya bu, masih muda mengurus anak. Masa tua habis untuk mengurus cucu. Kita punya banyak kesempatan bercengkerama dengan cucu sendiri. Tinggal diurus anak dan menantu. Tidak perlu ditelantarkan di panti jompo. Saya betul-betul bersyukur, bu, punya menantu seperti Marni. Bicaranya halus, perhatian sama mertua. Apa-apa kebutuhan saya dilengkapi. Dia sering bilang terima kasih karena saya mau membantu dia mengurus si sulung dan si bungsu. Saya justru yang terima kasih, dia tidak segan turun tangan mencari nafkah membantu suaminya. Anak saya pintar cari istri," Bu Sarni berkata dengan mata berbinar bangga. Ada rasa yang meluap-lupa di dadanya ketika menceritakan kehebatan menantunya.
            "Iya ya, bu, saya jadi ikut senang. Adik saya yang masih hidup satu-satunya terpaksa tinggal di panti jompo karena anak-anaknya tinggal di luar pulau. Dia juga sakit-sakitan. Kalau saya sakit bisa lapor ke anak dan menantu. Fahri jadi hiburan di hari-hari tua saya. Kadang saya tidak sabar ingin cepat melihat Fahri tumbuh dewasa. Dia pasti tampan! Saya yang rawat, mandikan, pakaikan baju, suapi bubur. Duh, ayahnya juga hormat. Menantu saya tidak keberatan saya diurus dan tinggal di sini."
            Setelah saling bertukar cerita, kedua nenek itu berpisah kembali ke rumahnya masing-masing. Ketika baru masuk rumah, Bu Sarni melihat menantunya yang sakit tengah berbaring di depan televisi. "Ibu! Ibu kemana saja? Dari tadi saya cari. Tuh, Rio dari tadi menangis mencari ibu! Saya lagi pusing, tidak kuat bangun. Tolong urus Rio ya bu," Marni bicara tanpa mengalihkan pandangan dari program infotainment. "Iya nak, ibu tadi cuma jalan-jalan sebentar. Bosan di rumah."
            "Ibu kan sudah tua, buat apa jalan-jalan? Nanti vertigonya kambuh, pulang ke rumah mengeluh. Katanya kepala pusing, rasanya mau muntah. Kalau sudah tahu tidak kuat, tidak usah memaksakan diri. Ibu bukan remaja lagi. Usia ibu 71, bukan 17 tahun. Nanti ibu pingsan di jalan, bagaimana? Siapa yang mau nolong? Malu bu, malu! Saya bukannya tidak sanggup bawa ibu ke dokter, tapi ini pertengahan bulan, gaji saya hampir habis. Ibu kok senang sekali memicu penyakit!" Bu Sarni mengelus dada. "Iya nak, maafkan ibu ya nak. Besok-besok ibu tidak akan jalan terlalu jauh."
            Bu Menur tengah menikmati teh manisnya ketika menantunya muncul tergopoh-gopoh dari kamar, "Bu, saya dan Susi terlambat bekerja. Ibu urus Fahri ya. Dia lapar, dari tadi rewel." Putrinya menyahut, "Iya, ibu bantu Susi urus si Fahri. Oh iya, Susi tadi tidak sempat mencuci, ibu yang cuci ya!"
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama