Bulan Telah Mati


artstudio87and1half.com

            Kata mereka, bulan telah mati.
            Aku terhenyak, terhuyung ke sudut. Air mataku meleleh. Siapa mereka sampai berani berkata bulan telah mati? Kudengar lagu-lagu perlambang duka cita dan suara isak tangis mengantar kepulangan bulan ke pangkuan semesta. Seluruh persendian tubuhku lunglai hingga aku terbungkuk dan bergetar menahan tangis. Aku tidak mau percaya! Dengan panik kututup setiap celah yang dapat ditembus gelombang suara. Seluruh jendela dan pintu kugembok. Namun suara-suara di luar sana, suara-suara yang percaya akan wafatnya bulan, berusaha membunuh kesadaranku.

            Aku berjalan mengitari ruangan berukuran 5x5 meter ini. Kepalaku bergerak-gerak memandang setiap titik dalam ruangan, mencoba memperhatikan dengan seksama. Sebab aku khawatir bisa saja ada lubang yang luput dari pengawasanku yang dapat mengalirkan suara ke dalam tempat berlindungku. Tidak boleh begini, aku harus membuktikan pada semua orang kalau bulan masih ada. Jika aku terus menerus terkurang dalam ruangan ini, bagaimana aku dapat menemukan bulan? Akan kubawa bulan ke hadapan semua orang. Sehingga mereka percaya kalau mereka alpa telah meniadakan bulan akibat kematian yang dikira-kira.
            Bulan belum mati! Aku melafalkannya dengan nada meninggi seakan tengah berzikir pada Tuhan. Semakin keras aku berteriak mengatakan bulan belum mati, semakin keras pula suara-suara dari luar yang mengantar bulan pergi. Mereka hanya orang-orang berputus asa yang menjijikkan dan hina! Pasti mereka kehabisan ide membuat onar dan gempar. Sehingga mereka memutuskan menghilangkan bulan supaya perhatian orang datang. Lihat! Langit masih menemukan malam dan bintang masih membutuhkan kawan.
            Bulan dan bintang berkawan. Itu alasanku mendekati bulan. Agar aku dapat menghampiri bintang. Bersisian dengannya, menggantungkan harapanku di sana. Sejak lama aku getol merayu bulan. Kapan-kapan bawalah aku ke atas, ke langit malam. Pertemukan aku dengan bintang. Aku tak mampu melakukannya seorang diri. Aku membutuhkan bantuan. Percayalah, bulan, ini tidak menyusahkan. Tidak pula membuang uang. Apalagi memakan banyak waktu. Bukankah kau sepanjang malam, terus hidup di langit kelam? Bermurah hatilah padaku, antarkan aku sedekat mungkin dengan bintang.
            Aku harus menggantungkan harapanku di sebelah bintang. Kudengar banyak orang merekomendasikan bintang sebagai tumpuan sekaligus pegangan. Banyak orang membutuhkan bintang. Seperti mereka tetap hidup dengan harapan-harapan yang mereka kumpulkan dalam kantung rahasia bagai perhiasan emas yang hanya mereka bagi rata di saat ajal menjemput. Bintang terlalu spesial. Antrian menuju bintang terlampau panjang. Seperti kata orang, gantungkan asamu di sisi bintang. Jadi, kau tetap dekat dengan harapan sekaligus menikmati cahaya bintang. Karena kau dapat melihat mereka berpegangan tangan ketika malam.
            Sibak tiraimu saat malam menjelang, matari kembali ke peraduan, dan bintang serta bulan muncul terang-terangan. Mereka berkasih-kasih sembari memancarkan kerlip indah yang cemerlang. Mereka bergumul, bergulat, bercerita, bersenda gurau, dan saling tertawa hingga pagi menjelang. Lalu mereka kembali diselimuti kabut dan munculnya matari.
            Kesempatanku cuma sebentar, cuma sedikit. Baru beberapa menit aku bercakap dengan bulan, matari mulai menggeliat di ufuk sana. Aku khawatir. Aku belum menggantungkan harapan. Sebab aku tak tahu cara lain meletakkan harapan itu selain bersisian dengan bintang. Siapa tahu bintang dapat menolongku merealisasikan tiap impianku. Karena aku lupa cara memimpikan, hingga lupa cara membuatnya menjadi nyata. Sebelumnya aku tak pernah punya harapan karena aku hanya membuat sebentuk harapan tanpa tahu apa itu benar-benar dikatakan mengharap.
            Matari terlambat muncul tapi berita kematian terlalu cepat tampil.
            Aku akan menghukum diri bila belum menemukan bulan. Bulan, kau kemana? Jangan khianati aku. Bukankah kau telah berjanji bahwa kau akan menolongku? Aku tak tahu di mana rumah bintang. Aku tak punya banyak waktu, karena aku tak bisa banyak berharap.
            Maka aku tak mau berharap lagi.
            Karena kudengar, bulan telah benar-benar mati.
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama