Nisan-Nisan dalam Doa Kusno



            Di antara bunyi gemuruh petir dan derasnya hujan, Kusno melantunkan doa dengan khidmat. Sesekali ia sesenggukan. Perhatiannya tak lepas dari wajah polos putra semata wayangnya, Fadhil. Permintaanya tidak muluk-muluk. Kusno tidak pernah berharap memiliki sawah lima hektar, rumah gedong, atau mobil mewah. Kusno cuma meminta rezeki yang cukup untuk anak istrinya. Asal bisa makan dan bisa sekolah. Asal tunggakan rumah kontrakan lunas. Asal cicilan baju pada tukang bendring itu juga tidak menghantuinya.

            "Pak, Fadhil panasnya ga turun-turun," lapor Yati, istrinya. "Kenapa tidak kamu bawa ke bidan?" sahut Kusno sembari membetulkan gentingnya yang bocor. "Uangnya, pak? Sudah seminggu Fadhil cuma makan singkong. Aku bisa tahan lapar, pak. Tapi Fadhil kasihan."
"Kamu utang saja dulu ke warung Bu Endang."
"Maunya begitu, pak. Tapi Bu Endang nolak. Katanya utang kita yang kemarin-kemarin masih banyak."
"Pinjam sama orang lain, bu."
"Bapak ga kasihan sama ibu? Ibu malu pak, utang sana-sini. Malu."
Kusno menghentikan pekerjaannya. Tanpa sadar ia memijat kening. Wajah muram istrinya tak mampu ia hadapi. "Bu, bapak berangkat dulu." Dengan gontai ia meninggalkan rumah, membawa beban kisah. Anak yang sakit dan utang yang menumpuk. Lengkap betul deritanya.
            Sepanjang hari, belum ada satu pun pesanan nisan pada Kusno. Ia menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang kering. Namun rasa mengganjal di dadanya tidak hilang-hilang. Kusno sadar, sekali lagi ia tidak bisa membawa pulang kesenangan bagi istri dan anaknya. Matahari bersinar terik. Ini bukan bulan orang mati. Jarang orang yang memesan nisan. Bulan orang mati masih lama untuk ditunggu. Sementara Kusno tidak punya waktu menunda lapar keluarganya.
            Lagi-lagi Kusno pulang dengan tangan hampa. Ini bulan sepi rezeki. Orang-orang datang ke makan hanya untuk berziarah. Tukang kembang sukses mengangguk untung. Sementara Kusno sukses mendulang mendung. Mendung di wajah Yati yang menggantung saban hari tiada henti. Kadang Kusno merasa telalu sesak untuk pulang demi mengabarkan kegagalannya menyejahterakan anak istri. Fadhilnya masih tergolek lemas dengan kantung mata cekung. Kusno tak sampai hati. Ia memilih tidur di pos ronda atau mampir ke mushala. Dalam shalat malamnya ia berdoa, memohon berkurangnya beban dalam dada.
            "Maafkan ibu, pak. Ibu sudah ga kuat. Ibu ga sanggup. Ibu ga mau jadi istri durhaka. Tapi ibu ga tega lihat bapak jarang pulang. Fadhil butuh makan. Utang butuh pelunasan. Ibu capek ditagih orang. Ibu pamit, pak." Kusno hanya menatap sayu ketika Yati pamit meninggalkannya. Istrinya membawa serta Fadhil. Selepas Yati pergi, hati Kusno menjadi tak karuan. Ia berjalan mondar-mandir di dalam rumah dengan pikiran tak menentu. Ngilu.
            Kembali Kusno mengadu. Kapan nisan-nisannya laku. Agar utangnya segera ia bayar dan anak istrinya kembali. Pantang bagi Kusno untuk merutuki nasib. Namun air matanya terus mengalir. "Saya bodoh, Tuhan. Saya hambaMu yang kurang bersabar. Tapi saya hampir putus asa. Anak istri saya pergi. Saya haru bagaimana, Tuhan. Kasihani anak istri hamba. Biarkan nisan-nisan hamba laku terjual." Selesai berdoa, Kusno tertidur di atas sajadah lusuhnya. Ia merasakan kelegaan.
            Matahari sudah tinggi saat rumah Kusno digedor orang. "Siapa?" tanya Kusno yang tak biasa menerima tamu. "Saya, mertuamu, Darman!" Bergegas Kusno menyambut bapak mertuanya. "Silakan masuk, pak!" Sejujurnya, hati Kusno kebat-kebit membayangkan kenapa mertuanya datang. Ia takut diminta menceraikan Yati. Ia tidak rela. "Kusno…" suara mertuanya terdengar lemah. "Iya pak?" tanya Kusno. "Bapak pesan nisan dari kamu ya." Kusno terkejut. Ternyata rezeki telah datang. Rezeki itu diantar Tuhan melalui bapak mertuanya! "Buat siapa pak?" Mertuanya tidak dapat lagi menahan tangis, "Yati, nak. Yati."
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama