no title


erywijaya.wordpress.com

            Terbengong-bengong kumendengar ceritanya. Mengajukan beasiswa ke Jepang? Akan berangkat meninggalkan Indonesia tiga bulan lagi? Meninggalkanku? Seluruh pertanyaan itu berkecamuk. Berputar-putar dalam kepalaku dan menyesakkan dadaku. "Kau serius?" tanyaku. Kau tersenyum sembari mengangguk takzim. "Bagaimana? Kau mendukungku tidak?" tanyamu dengan bersemangat. "Kau tahu aku temanmu. Aku ikut senang bila kau senang. Aku pasti mendukungmu. Aku pendukung terbaikmu! Keberhasilanmu adalah rasa syukurku." Medengar jawabanku, senyummu makin lebar. "Terima kasih, Anna," katamu sebelum membiarkanku tertegun dengan ucapanku sendiri.

            Tidak, kau salah. Aku temanmu. Tapi aku tidak benar-benar mendukungmu. Bagaimana bisa aku mendukung sesuatu yang membuatmu jauh dariku? Kau temanku, pelindungku, sandaranku, panutanku. Bodoh bila aku mengingkari rasa membutuhkan yang muncul setiap melihat sosokmu. Ketergantunganku membuahkan rasa manja yang meningkat kadarnya dari waktu ke waktu. Tentu kau ingat seberapa seringnya kini aku merengek jika tak kau turuti mauku.
            "Benar kau sudah mengajukan aplikasi beasiswa itu? Tapi tempatnya sangat jauh," rajukku di waktu lain. "Ya, lalu? Bukankah jarak akan meningkatkan kemandirianku? Dengan jauh dari orangtua aku menjadi lebih tahan banting," jawabmu dengan bijak. "Aku bagaimana?" tanpa sadar, kuucapkan juga sikap keberatanku. Kau terbahak dengan keras. "Anna, zaman sudah canggih, apa gunanya teknologi telekomunikasi yang telah begitu maju saat ini? Kau bisa menghubungiku kapanpun kau perlu. Skype, facebook, twitter, yahoo mesenger, email, apa saja yang dapat kau gunakan." Entah mengapa aku sakit hati mendengar kata-katamu. Bukankah kehadiran fisik tidak tergantikan dalam sebuah komunikasi? Mana bisa kuganti wujudmu dengan koleksi fotomu di ponselku?
            "Anna, tolong lihat pengumuman di situs ini," kau melampirkan alamat sebuah situs dalam pesan singkatmu. "Pulsa modemku habis. Hari ini pengumuman penerimaan beasiswa ke Jepang. Aku sangat berharap mendapatkannya. Kau terus mendoakanku kan dua bulan terakhir ini?" Sebuah ikon senyum menutup pesanmu. Kuturuti permintaanmu. Aku mengetik alamat itu dan memasukkan namamu. Namamu terpampang sebagai salah satu penerima beasiswa. 


[ cerpen ini diberi judul no title atas permintaan tokohnya]
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama