The Hobbit: JRR Tolkien VS Peter Jackson

thehobbitpdf.net
Tahu dong JRR Tolkien siapa? Yap, bagi Anda pecinta fiksi fantasi tentu tidak asing lagi dengan JRR Tolkien, penulis The Hobbit dan Trilogi The Lord of The Ring. Saking larisnya, keempat buku yang ia tulis telah diangkat ke layar lebar dan tak kalah suksesnya. Penggemar novel maupun filmnya banyak sekali. Ada pula yang menjuluki novel maupun filmnya adalah salah satu karya fiksi terbaik sepanjang masa. Setuju?

Meski The Lord of The Ring lebih dulu terkenal, sebenarnya kisah cincin magis ini memiliki pendahuluan yang diceritakan dalam The Hobbit. Novel setebal 352 halaman ini dipecah menjadi tiga film yaitu Un Expected Journey, The Desolation of Smaug, dan The Battle of The Five Armies. Hal ini bisa diterima sebab kisah yang ditulis JRR Tolkien cukup kompleks. Ia menciptakan sebuah dunia lengkap dengan berbagai ras di dalamnya beserta latar belakang yang detail. Tentu bila dirangkum dalam satu film akan muncul kekhawatiran bahwa hasilnya kurang memuaskan.


Kisahnya dibuka dengan deksripsi kaum Hobbit. JRR Tolkien memulai kisahnya seakan ia benar-benar mendongeng untuk pembaca. Berikut cuplikan halaman pertama The Hobbit:

Liang hobbit ini berpintu bundar, seperti jendela kapal. Catnya berwarna hijau, dan tepat di tengahnya dipasang sebuah tombol loyang mengilap. Kalau pintu depan ini dibuka, di baliknya akan tampak ruang depan yang memanjang seperti terowongan. Terowongan ini sangat menyenangkan, tidak kotor penuh jelaga seperti terowongan kereta api. Dindingnya dilapisi panil, lantainya ubin yang diberi alas permadani.

Peter Jackson, sang sutradara, berhasil mewujudkan detail-detail yang dituliskan JRR Tolkien dengan baik. Kalau Anda memperhatikan filmnya, Anda akan merasa seperti itulah gambaran yang terbentuk saat membaca The Hobbit. Dan memang, liang Bilbo Baggins tampak menyenangkan serta nyaman.

Hobbit adalah makhluk yang menyukai kedamaian dan makanan. Digambarkan mereka bukan ras yang suka betualang karena akan membuat mereka terlambat makan malam. Tubuh mereka pendek, kaki mereka tebal hingga tak butuh sepatu, dan hobi mereka mengisap pipa berisi tembakau. Suatu hari ketika seorang hobbit bernama Bilbo Baggins tengah menikmati pipa, seorang yang berjenggot lewat di depan liangnya. Orang itu bicara dengan cara yang rumit. Ia menanyakan apa arti selamat pagi yang diucapkan Bilbo. Membicarakan sebuah ucapan selamat pagi saja harus tuntas baginya. Orang itu adalah sosok yang termasyhur, Gandalf.
Gandalf (jayswanson.me)

Gandalf yang ceria, ekspresif, cukup ceplas-ceplos dan sedikit rumit dalam berkata-kata memang tampak berbeda dibanding sosok Gandalf dalam film. Namun saya jauh lebih menyukai Gandalf dalam versi novel. Menyenangkan rasanya membayangkan sosok Gandalf seperti dalam novel. Ia tetap sosok bijaksana meski tidak selalu kaku atau serius. Ia sama seperti Bilbo Baggins, menyukai tembakau dan pipa. Beginilah sosok Gandalf dalam novel:

Sesudah makan, Gandalf mengeluarkan pipanya. “Aku akan menjawab pertanyaan kedua lebih dulu,” katanya. “Tapi.... astaga! Ini tempat yang sangat cocok untuk bermain lingkaran asap!”

Gandalf mengajak Bilbo Baggins untuk ikut dalam petualangannya. Sebagai seorang hobbit, Bilbo Baggins menolak. Tapi Gandalf tidak patah arang. Ia sengaja mengundang tiga belas kurcaci yang nantinya akan betualang dengan Bilbo Baggins untuk bertamu ke rumah sang hobbit. Hobbit yang malang itu tidak tahu dan terkaget-kaget saat rumahnya dipenuhi serombongan kurcaci dengan nafsu makan luar biasa. Hobbit memang makhluk yang ramah, tapi tetap saja ia lebih suka diberi tahu jika ada yang mau bertamu.

Singkat cerita, Bilbo Baggins pun ikut dalam petualangan para kurcaci. Mereka memanggilnya sebagai pencuri.
Martin Freeman sebagai Dr Watson (popwrapped.com)
Martin Freeman sebagai Bilbo Baggins (cdn.bleedingcool.net)

Dalam versi layar lebarnya, Bilbo Baggins diperankan oleh Martin Freeman dengan cukup apik. Walau kurang puas dengan karakternya dalam film, saya tetap mengacungi jempol. Entah mengapa melihat Martin Freeman sebagai Bilbo Baggins justru membuat sosoknya semakin melekat sebagai Dr Watson.

Tokoh utama lain, Thorin Oakenshild yang menyebabkan petualangan ini terjadi, digambarkan dengan baik di versi film maupun novelnya. Thorin adalah seorang yang angkuh. Ia begitu bertekad menemukan harta keluarganya yang berada di bawah kekuasaan seekor naga bernama Smaug.

JRR Tolkien patut disebut rajanya dongeng. Saya betul-betul menikmati dongengnya dalam The Hobbit. Tokoh-tokoh rekaannya pun unik dan memorable. Seperti Gollum. Walaupun ia tidak memiliki banyak porsi di sini, ia tetap mencuri perhatian. Baik dalam film maupun novelnya, Gollum mampu menjadi sorotan utama saat melakoni porsinya. Ia akan lebih banyak muncul dalam The Lord of The Ring yang nuansanya lebih dark.

Happy ending merupakan tipe ending yang standar dan biasa saja bagi saya. Tapi saya menyukai bagaimana JRR Tolkien menutup The Hobbit. Ini merupakan tahap transformasi seorang Bilbo Baggins dari hobbit yang hidup di liang menjadi seorang hobbit petualang. Meski hal itu bukan lazimnya karakter hobbit, Bilbo Baggins tetap menunjukkan bahwa ia adalah ras yang menyukai kehidupan damai. Begitulah kira-kira rasanya menyelami kisah Bilbo Baggins. Damai.

Ending di buku maupun film sama saja. Namun saya kecewa berat dengan The Battle of The Five Armies sebagai penutup. Film itu terlihat tidak fokus dengan plot cerita. Apakah ingin menonjolkan pertempuran dari lima bala tentara atau pencarian harta? Mengapa kisah cinta Kili dan Tauriel mendapat banyak bagian meski tidak berdampak signifikan terhadap keseluruhan jalan cerita? Mengapa Alfrid si kaki tangan Wali Kota Danau disorot sebagai bumbu sebab kehadirannya terasa dipaksakan. JRR Tolkien sendiri cukup ahli dalam membagi porsi. Sebaliknya, Peter Jackson mungkin kewalahan atau justru sengaja membuat porsi sama rata untuk menjadikan film ini lebih megah. Jika itu resep yang ia pakai untuk menyamai megah dan dramatisnya The Lord of The Ring, ia gagal. Saya tidak menikmatinya.


The Hobbit versi novel akan saya beri bintang lima sementara versi filmnya cukup bintang dua berdasarkan skala satu sampai lima. The Hobbit mungkin merupakan pelopor dunia fantasi tentang kehidupan elf, manusia, kurcaci, troll, naga, hobbit dan berbagai ras lainnya. Ia menginspirasi banyak karya fiksi lain yang tak kalah fenomenal. Jika ingin membaca novel fiksi fantasi lain yang membuat Anda berpikir keras tentang penciptaan dunia baru seperti layaknya The Hobbit maupun The Lord of The Ring, silakan menikmati Tetralogi Warisan dari Christopher Paolini. Akan sama memukaunya dalam teknik yang berbeda sebab Christopher Paolini tidak menuliskannya seperti mendongeng. Selain menginspirasi dan menjadi acuan karya sejenis, JRR Tolkien pun mendorong pembaca untuk tak takut menciptkan tokoh-tokoh fantastis yang tidak terpikirkan sebelumnya oleh orang lain bahkan mungkin dianggap aneh. Salah satunya adalah ras hobbit yang tanpa sengaja ia ciptakan.

***
Sebelumnya saya pernah menulis resensi The Hobbit di sini tanpa membandingkan dengan filmnya. Resensi ini ditulis untuk Reading Challenge Monday Flash Fiction bulan Februari.

12 Komentar

  1. Wuidihhh detil bgt reviewnya. Aku baru nonton filmnya. Blom baca novelnya sama sekali

    Salam

    Junioranger

    BalasHapus
  2. Padahal udah punya bukunya tapi belum dibaca. Makasih ulasannya Linda :)

    BalasHapus
  3. Wiih, sip ni reviewnya. Saya belum baca novelnya. Dulu pernah mau baca yang LOTR terus gak kuat hehehehe. Tapi kalau filmnya saya suka.. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. rada lambat gitu ya mbak temponya hehe memang sih jd agak bosen tp kalo diterusin bisa asik

      Hapus
  4. Saya gak suka genre ginian, tp pengen jg baca :D #NungguMu'jizatTapi hihih

    BalasHapus
  5. aku belum membaca bukunya jadi belum bisa berkomentar apa-apa.

    mengenai filmnya yang menjadi tiga bagian, bukannya ini masalah uang?

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau soal uang, pendapatan 1 film super laris bisa menandingi 3 film yang ga selaris itu, imho. gimana ya, uang dateng kok kalo filmnya emang beneran t-o-p

      Hapus
  6. loh, bukannya karena film terdahulunya (lotr) top makanya the hobbit dijadikan 3 film. maksudku, karena tahu filmnya akan/pasti sukses (punya basis penggemar besar) makanya dibuat 3 bagian. ini semua demi meraup keuntungan yg lebih besar dari para penggemar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. oooh gitu. ya bisa sih. walau yang kecewa juga ga kalah banyak karena hasilnya ga semengesankan lotr

      Hapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama